Perubahan dan Pendekatan Marketing Ekonomi Baru
Hanny Santoso
“In calm waters, everyone is a good sailor”
— Margaret Riis
Bila
Anda bertanya “Apa saja yang berubah dalam era new economy ini?”
Sebenarnya mungkin lebih seru bila pertanyaan Anda dibalik menjadi “Apa
saja yang tidak berubah dalam era new economy ini?” Mengapa? Karena jauh
lebih mudah untuk menemukan hal-hal yang tidak berubah dibandingkan
dengan yang berubah dengan adanya ekonomi baru.Termasuk marketing, turut
serta berubah karena adanya Internet dan globalisasi.
Dalam
beberapa artikel singkat berikut ini, telah dikumpulkan beberapa
pendekatan baru marketing yang mungkin dapat me-redefinisi
pendekatan-pendekatan tradisional yang telah ada. Kesemuanya adalah
pendekatan praktis dari beberapa penulis buku marketing yang menjadi best-seller eksekutif dan para pebisnis, digabungkan dengan beberapa ide yang diambil dari artikel-artikel di Harvard Business Review.
Walaupun tidak semua pendekatan telah terbukti kebenarannya, tetapi
perlu untuk dicermati keberadaannya dan prospeknya di masa depan. Pendekatan-pendekatan tersebut antara lain Permission
Marketing (Seth Godin), Emotional Branding (Marc Gobe), Experiential
Marketing (Bernd Schmitt), Spiral Marketing (Jesse Berst), Brand
Religion (Jasper Kunde), Viral Marketing dan Individualized Marketing.
Pergeseran 4P
Teori tentang marketing mix (bauran
pemasaran) dari Phillip Kotler yaitu 4P (Product, Price, Place,
Promotion) pun kini sudah tak terlalu relevan. Ada yang mengatakan 4P
telah tidak relevan, gantinya adalah 7P, ada pula yang malah
menguranginya menjadi 2P saja.
Dengan
menggunakan web misalnya, siapa saja dapat menjadi target pasar Anda.
Dalam ilmu marketing konvensional, selalu ditekankan untuk memilih
target pasar Anda dengan strategi Targeting, yaitu siapa target market
yang akan memakai produk Anda. Hal ini penting, karena sangat berkaitan
dengan 4P tadi. Kalau target pasar jelas, maka strategi distribusi
produk juga jelas. Barang untuk kalangan menengah atas misalnya, tak
akan Anda jual sampai ke tingkat warung rokok misalnya. Demikian pula
kalau barang yang dijual untuk kalangan menengah bawah, maka tak perlu
Anda ngotot memasukkannya ke butik mewah. Strategi promosipun juga jadi
jelas, media untuk berpromosi dapat dipilih yang audiencenya
berkemungkinan besar menjadi target market produk kita.
Customized Product
Dalam
new economy, konsumen akan lebih dekat dengan produsen. Melalui
Internet, calon konsumen bahkan dapat mendefinisikan sendiri secara
detail produk yang ingin dibelinya. Membeli komputer Dell misalnya,
produk komputer baru akan dirakit sesuai spesifikasi yang diinginkan
oleh di pembeli. Oleh Don Tapscott dalam bukunya Digital Economy, customer lebih cocok disebut sebagai prosumer, karena disamping sebagai customer, ia juga turut menentukan bagaimana produk yang dibelinya akan berwujud, sehingga ia mempunyai peran pula sebagai producer.
Menciptakan suatu produk di era new economy-pun harus lebih cepat dari yang sudah-sudah. Joseph Luhukay,
pakar TI nusantara pernah berujar, “Waktu adalah musuh dan teknologi
adalah kawan kita”. Kalimat ini menunjukkan sedemikian pentingnya semua
perusahaan harus berpacu melawan waktu untuk dapat meninggalkan
lawan-lawannya dalam membuat suatu produk yang tetap pula harus unggul
dalam kualitas dan tentu saja inovatif dengan penggunaan teknologi
sebagai differentiator utama.
Dalam
menciptakan suatu produk, harus diperhatikan benar bahwa dalam membuat
produk berkualitaspun harus dalam waktu yang singkat. Tetapi tetap pula harus dipertimbangkan momen yang tepat untuk meluncurkan suatu produk. Allen Ward dalam “The Second Toyota Paradox: How Delaying Decisions Can Make Better Cars Faster” dalam Sloan Management Review pernah
mengutarakan bagaimana strategi Toyota melalui yang akhirnya memilih
menunda produk barunya dengan mengambil resiko kalah bersaing dengan
produsen mobil yang lain, akhirnya dapat mendikte pasar karena dapat
mengambil keuntungan dengan melakukan riset terhadap produk hasil yang
lebih komprehensif.
Berbicara mengenai waktu, memang tidak harus sebuah perusahaan mengambil selalu yang paling depan sebagai leader atau first-mover.
Kadang perlu diperhitungkan benar apabila riset pasar kurang mencukupi
dan produk belum jelas prospeknya, untuk lebih baik memilih menjadi late-mover. Mengapa? Karena late-mover belum
tentu kalah bersaing, justru malah dapat mempelajari lebih banyak
sifat-sifat pasar, maupun belajar dari kekurangan-kekurangan first-movernya. Dan sebagai late-mover, malah tidak perlu meng-edukasi pasar sama sekali, tidak perlu taste the water.
Tetapi kalau memang pasar sudah jelas dan memerlukan, produk cukup
baik, distribusi mapan, harga terjangkau, dan semuanya sudah siap,
sebaiknya kita menjadi first-mover, karena first-mover biasanya diuntungkan untuk mendapatkan posisi brand awareness yang
langsung tinggi di benak konsumen, tentu saja dengan kalau produknya
baik, harganya kompetitif, distribusinya tepat dan strategi promosi yang
cukup gencar pula.
Tetapi
perlu digarisbawahi, memang waktu sedemikian penting untuk
diperhitungkan. Karena di era ekonomi baru seperti ini, pesaing bisa
muncul kapan saja, dan di mana saja. Oleh karena itulah di masa sekarang
ini waktu untuk melakukan product development haruslah
lebih pendek daripada sebelumnya. Para pembuat produk harus lebih cepat
meluncurkan produk bila tak ingin kalah bersaing.
Dalam
papernya “Developing Products on Internet Time”, Marco Iansiti dan Alan
MacCormack melukiskan pendekatan fleksibel dibandingkan pendekatan
tradisional dalam membangun suatu produk. Kalau dalam pendekatan
tradisional, implementasi dimulai setelah pengembangan konsep diselesaikan 100%, maka dengan pendekatan fleksibel, implementasi telah dimulai saat pengembangan
konsep sedang berjalan beberapa persen. Dalam bidang komputer dan
rekayasa perangkat lunak, pendekatan fleksibel semacam ini adalah
pendekatan prototyping, sedangkan pendekatan tradisional mengikuti
metode sekuens waterfall model yang step-by-step secara teratur
mengikuti urutan analisis, desain, implementasi, testing dan maintenance.
Dengan
cara fleksibel semacam ini, maka produk telah melibatkan konsumen untuk
mencoba sistem dan memberikan input dalam masa implementasi. Konsep
yang baru setengah matang langsung diujicoba, lalu minta input dari
calon konsumen sehingga kontribusi mereka langsung terlibat untuk
menentukan keinginan mereka. Itulah sebabnya banyak produk software yang
langsung diluncurkan beberapa kali dengan label versi beta yang diberi
nomor menaik. Sedangkan versi alpha sendiri biasanya diujicoba oleh
internal perusahaan.
Virtual Place
Unsur
“place” dalam 4P memikirkan bentuk distribusi produk untuk dapat
mencapai customer. Produk yang keluar setelah jadi, akan melewati
beberapa level untuk mencapai customer, kadang bisa melewati 4-5 level
atau lebih, terutama bila pasar cukup luas, barangnya tahan lama, dan
jumlah customernya cukup banyak.
Dalam
era new economy, pembeli bisa langsung menghubungi perusahaan
sekaligus, berarti terjadi pemotongan rantai distribusi, yang tadinya
beberapa level, kemudian menjadi 1 level saja, yaitu antara end-user
konsumen dan produsen. Fenomena ini kemudian terkenal dengan istilah
disintermediasi, yaitu penghilangan lapisan tengah penyampai informasi.
Agak berbeda dengan fenomena direct selling, ataupun multi level
marketing yang lebih mengandalkan manusia sebagai media distribusi,
melalui situs web sebagai “etalase virtual” pembeli dapat langsung
berhubungan dengan produsen melalui situs web.
Yang
kedua, dengan adanya e-commerce melalui web, maka gerai-gerai sebagai
front-end untuk “place” atau rantai distribusi produk menjadi bukan hal
yang cukup serius lagi. Bahkan banyak perusahaan yang menjual barangnya
hanya melalui web saja. Pembeli produk kini tidak harus datang secara
fisik ke toko Anda karena mereka membeli lewat web secara virtual.
Justru yang dipikirkan sekarang adalah rantai logistik dan supply chain
Anda supaya dapat menjamin bahwa distribusi Anda lancar untuk sampai ke
end-user atau customer Anda. Kalau Anda sebagai produsen barang
tersebut, maka haruslah Anda pikirkan bagaimana pasokan dan penyimpanan
raw materials Anda, produksinya hingga menjadi produk siap kirim, dan
logistiknya hingga produk tersebut dapat dikirim dan diterima dengan
baik oleh customer Anda. Ini jauh lebih penting! Karena dengan adanya
Internet jumlah calon pembeli Anda bisa jadi tak terduga. Belajar dari
penjualan PlayStation 2 saat launching di Jepang misalnya, ada 750 ribu
pembeli dalam satu hari! Nah, kalau supply chain Anda tidak lancar, atau
deliverynya kacau, bisa jadi calon pembeli tidak terlayani. Amazon-pun
sampai sekarang masih belum break-even karena untuk dapat melayani
seluruh pembelinya di seluruh dunia, harus membangun gudang yang
besar-besar di lokasi yang dekat dengan penerbit untuk menyimpan semua
stok bukunya.
Dari Promosi ke Komunikasi, Dari Broadcast ke Dialog
Aktivitas
promosi juga mengalami perubahan. Promosi yang selama ini merupakan
tindakan satu arah saja dari produsen ke konsumen, sudah tak layak lagi
diteruskan. Konsumen semakin rewel dan butuh perhatian ekstra supaya
tetap loyal kepada perusahaan. Akibatnya, diperlukan strategi
komunikasi, dan bukan lagi promosi. Komunikasi adalah dua arah,
sedangkan promosi adalah satu arah saja. Produsen dapat mengiklankan
produknya, sebaliknya konsumen dapat memberikan feedback terhadap produk
tersebut. Dengan demikian produk yang diciptakan sarat dengan koreksi
dan saran konsumen. Bisa dibayangkan bahwa produk-produk di masa depan
adalah produk dambaan konsumen. Kalau di masa revolusi industri kita
kenal dengan istilah mass commodity product, maka di era new conomy, hal itu akan berubah menjadi (mass) customized product.
Stephen
King, penulis cerita horor yang terkenal itu misalnya, tahun 2000 lalu
melepas cerita horor terbarunya “The Plant” dengan cara bab demi bab di
situs webnya. Banyak orang kemudian mendownload dan membaca karangannya.
Di situs webnya juga disediakan fasilitas untuk pembentukan komunitas
pembacanya, sehingga mereka dapat saling memberi kritik, saran, harapan,
sekedar komentar apapun opini mereka terhadap tokoh-tokoh serta alur
cerita “The Plant”. Hasilnya? Stephen King menghasilkan bab-bab
berikutnya dengan memperhatikan dan mendengarkan aspirasi komunitas
pembacanya tersebut. Ending-nya mungkin adalah
berdasarkan suara terbanyak pembacanya. Akibatnya bukunya dapat
bertambah laris karena mengikuti “suara pembaca”.
Di
sini kita melihat bahwa betapa komunikasi dan promosi akan sangat
berhubungan erat dengan produk atau service yang akan dihasilkan oleh
suatu perusahaan.
Permission Marketing
Berapa
banyak iklan yang Anda baca, lihat, dengar setiap hari melalui
macam-macam media? Berapa banyak informasi yang melekat dalam benak Anda
dari hasil iklan-iklan tadi?
Banyak
orang berpendapat, revolusi informasi yang kita alami sekarang ini,
telah menyebabkan lebih banyak informasi yang kita baca setiap harinya
dibandingkan saat revolusi industri. Dalam situasi globalisasi saat ini,
di mana setiap perusahaan dapat secara bebas bersaing memperebutkan
target pasar yang sama, tak jarang satu macam produk yang dicari
konsumen, mempunyai berbagai macam merek yang dapat dipilih dari produk
dari serangkaian perusahaan. Industri mobil di Indonesia misalnya, untuk
sedan mini kelas 1500cc mempunyai Baleno dari Suzuki, City-Z dari
Honda, Soluna dari Toyota, Accent dari Hyundai, Rio dari KIA, sampai
dengan 206 dari Peugeot. Untuk air mineral, ada Aqua, Ades, Vit, sampai
dengan yang kelas premium seperti Equil. Pasar mie instan semakin ramai
saat Mie & Me dari Unilever bersaing head-to-head dengan
Chatz-Mie dari Indofood untuk memperebutkan pasar premium, setelah
sebelumnya pasar mi instan regular sudah cukup ketat persaingannya
melalui Indomie, Sarimi, Sasa, Supermi, Gaga, dan sebagainya.
Besarnya
pasar dan konsumen prospektif telah menyebabkan semakin pintar para
produsen dan perusahaan menyusun taktik dan strategi untuk merebut
pasar. Bila dari segi produk dan service bisa ditempuh jalur
diferensiasi, maka untuk soal promosi dan komunikasi pemasaran, iklan
yang dibuat haruslah semakin segar, unik, inovatif, dan sangat menjual.
Tetapi kembali lagi pada berapa banyak iklan yang mampu Anda serap
maknanya kalau di mana-mana terdapat iklan, di jalan, di radio, TV,
majalah, koran, dsb. Penyebabnya adalah waktu. Sedemikian sedikit waktu
yang tersedia bagi manusia, tetapi harus menyerap sedemikian banyak
informasi di mana-mana. Inilah yang kemudian disebut sebagai krisis
atensi. Tidak semua orang mau membaca iklan, sebagian besar justru
menghindarinya. Untuk itu perlu ditemukan cara yang smart dan elegan,
tidak sekedar hardselling yang ngotot mengejar setoran.
Seth Godin, pengarang buku Permission Marketing
mengungkapkan bahwa manusia saat ini sudah mulai bosan terhadap iklan
karena banyaknya informasi yang diterima setiap harinya. Seth dengan
perusahaannya Yoyodyne Inc. menemukan cara kreatif dan efektif untuk
meluncurkan iklan. Ia mengadakan kuis berhadiah $1 juta untuk orang yang
bersedia bermain dalam gamenya, dan tentu saja para peserta tersebut
dikirimi banyak iklan sebagai syaratnya. Jadilah istilah “Permission
Marketing” atau melakukan pengiklanan, promosi dan komunikasi dengan
sebelumnya mendapatkan permisi secara sadar dari pesertanya. Dengan
demikian, para peserta akan benar-benar memberikan atensi khusus pada
iklan yang dikirimkan. Efektivitas iklan semacam ini tentunya akan
sangat tinggi sekali.
sumber : http://hannysan.tumblr.com/post/36204129933/marketing-in-the-new-economy
diambil 2 April 2015
diambil 2 April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar